Kamis, 14 Maret 2013

Rooney 'habiskan' karier di Manchester United


Wayne Rooney
Wayne Rooney tidak masuk tim utama dalam laga MU melawan Real Madrid.
Direktur Manchester United, Bobby Charlton meyakini Wayne Rooney akan menghabiskan karier sepak bolanya di United.
"Rooney tidak akan dibiarkan pindah ke klub lain. Bukan itu yang diinginkan manajer Alex Ferguson," kata Charlton.
"Rooney adalah penyerang kami dan saya kira ia pemain yang hebat. Selain itu, ia juga memberikan pengaruh positif kepada tim," tambahnya.
Spekulasi mengenai masa depan Rooney muncul setelah Klik Ferguson tidak memasukkannya sebagai anggota tim utama dalam pertandingan melawan Real Madrid di babak 16 besar Liga Champions.
Banyak pengamat di Inggris percaya keputuan Ferguson tersebut adalah konfirmasi bahwa posisi Rooney sebagai penyerang United nomor satu telah digantikan Robin van Persie.
Sejak dibeli dari Arsenal pada Agustus lalu, Van Persie langsung memantapkan diri sebagai penyerang United paling produktif.

Alasan taktis

Menurut Charlton, kehadiran Van Persie tidak serta merta membuat posisi Rooney terancam.
"Saya kira persaingan (dengan Van Persie) bukan menjadi masalah bagi Rooney," ujar Charlton.
Ferguson sendiri Klik sudah memberikan klarifikasi soal pencoretan Rooney dari tim utama.
Ia menjelaskan pencoretan ini semata-mata karena alasan taktis.
"Tidak ada masalah antara saya dan Rooney. Dan saya tegaskan ia masih menjadi pemain United musim depan," kata Ferguson.
Rooney termasuk pemain termahal di United, dengan gaji dilaporkan mencapai £250.000 atau sekitar Rp3,6 miliar per pekan.
Faktor gaji ini diperkirakan sebagai salah satu ganjalan kepindahan Rooney ke klub lain.

sumber :  http://www.bbc.co.uk/indonesia/olahraga/2013/03/130312_rooney_mu.shtml
danbo buatan gw sama erick nihh...
yang berminat silahkan pesan ke ilham dan eirck
MENGENAL BUDAYA SUNDA
 
Budaya Sunda adalah budaya yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat Sunda. Budaya Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat Sunda adalah periang, ramah-tamah (someah), murah senyum, lemah-lembut, dan sangat menghormati orangtua. Itulah cermin budaya masyarakat Sunda. Di dalam bahasa Sunda diajarkan bagaimana menggunakan bahasa halus untuk berbicara dengan orang yang lebih tua.

Etos budaya

Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan tertua di Nusantara. Kebudayaan Sunda yang ideal kemudian sering kali dikaitkan sebagai kebudayaan masa Kerajaan Sunda. Ada beberapa ajaran dalam budaya Sunda tentang jalan menuju keutamaan hidup. Etos dan watak Sunda itu adalah cageur, bageur, singer dan pinter, yang dapat diartikan "sembuh" (waras), baik, sehat (kuat), dan cerdas. Kebudayaan Sunda juga merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu di lestarikan. Sistem kepercayaan spiritual tradisional Sunda adalah Sunda Wiwitan yang mengajarkan keselarasan hidup dengan alam. Kini, hampir sebagian besar masyarakat Sunda beragama Islam, namun ada beberapa yang tidak beragama Islam, walaupun berbeda namun pada dasarnya seluruh kehidupan di tujukan untuk kebaikan di alam semesta.

Nilai-nilai budaya

Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari kebudayaan–kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo silih asih, silih asah dan silih asuh; saling mengasihi (mengutamakan sifat welas asih), saling menyempurnakan atau memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling melindungi (saling menjaga keselamatan). Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah nilai-nilai lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua, dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan magis di pertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat sedangkan keseimbangan sosial masyarakat
Budaya Sunda memiliki banyak kesenian, diantaranya adalah kesenian sisingaan, tarian khas Sunda, wayang golek, permainan anak-anak, dan alat musik serta kesenian musik tradisional Sunda yang bisanya dimainkan pada pagelaran kesenian.
Sisingaan adalah kesenian khas sunda yang menampilkan 2–4 boneka singa yang diusung oleh para pemainnya sambil menari. Sisingaan sering digunakan dalam acara tertentu, seperti pada acara khitanan.
Wayang golek adalah boneka kayu yang dimainkan berdasarkan karakter tertentu dalam suatu cerita perwayangan. Wayang dimainkan oleh seorang dalang yang menguasai berbagai karakter maupun suara tokoh yang di mainkan.
Jaipongan adalah pengembangan dan akar dari tarian klasik .
Tarian Ketuk Tilu , sesuai dengan namanya Tarian ketuk tilu berasal dari nama sebuah instrumen atau alat musik tradisional yang disebut ketuk sejumlah 3 buah.
Alat musik khas sunda yaitu, angklung , rampak kendang, suling,kecapi,goong,calung. Angklung adalah instrumen musik yang terbuat dari bambu , yang unik , enak didengar angklung juga sudah menjadi salah satu warisan kebudayaan Indonesia.
Rampak kendang adalah beberapa kendang (instrumen musik tradisional sunda) yang di mainkan bersamma – sama secara serentak. Advertisement
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Sunda

Suku Betawi

Betawi
Mohammad Husni ThamrinIsmail MarzukiDedy Mizwar
Benyamin SuebAlya RohaliFauzi Bowo
Mohammad Husni Thamrin, Ismail Marzuki, Dedy Mizwar
Benyamin Sueb, Alya Rohali, Fauzi Bowo
Jumlah populasi
3 juta (sensus 2000)
Kawasan dengan populasi yang signifikan
Jakarta: 2.3 juta
Bahasa
Betawi, Indonesia
Agama
Islam dan Kristen (minoritas)
Kelompok etnik terdekat
Banten, Jawa, Sunda, Melayu
Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya bertempat tinggal di Jakarta.
Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, Melayu dan Tionghoa.
Namun pihak lain berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa pada masa lalu ternyata tidak sepenuhnya benar karena eksistensi suku Betawi menurut sejarawan Sagiman MD telah ada serta mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak zaman batu baru atau pada zaman Neoliticum, penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa, dan Madura. [1] Pendapat Sagiman MD tersebut senada dengan Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)" mengungkapkan bahwa Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3500 - 3000 sebelum masehi.
Namun menurut sebagian Peneliti yang sepaham dengan Lance Castles yang pernah meneliti tentang Penduduk Jakarta dimana Jurnal Penelitiannya diterbitkan tahun 1967 oleh Cornell University dikatakan bahwa secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.
Pada penelitiannya Lance Castles menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yaitu :
  1. Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
  2. Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
  3. Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
  4. Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Dimana semua sketsa sejarahanya dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke 17), sketsa inilah yang oleh sebagian ahli lainnya dirasakan kurang lengkap untuk menjelaskan asal mula Suku Betawi dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa yang ada pada abad ke 15 (tahun 1400-an Masehi) sudah ditemukan kata "Negeri Betawi" [2]

Daftar isi

Etimologi Betawi

Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Mengenai asal mula kata Betawi, menurut para ahli dan sejarahwan ada beberapa acuannya :
  • Pitawi (Bahasa Melayu Polynesia Purba) yang artinya larangan. Perkataan ini mengacu pada komplek bangunan yang dihormati di Batu Jaya. Sejarahwan Ridwan Saidi mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan di Batu Jaya, Karawang merupakan sebuah Kota Suci yang tertutup, sementara Karawang, merupakan Kota yang terbuka.
  • Betawi (Bahasa Melayu Brunei) di mana kata "Betawi" digunakan untuk menyebut giwang. Nama ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi, yang banyak ditemukan giwang dari abad ke-11 M.
  • Flora guling Betawi (cassia glauca), famili papilionaceae yang merupakan jenis tanaman perdu yang kayunya bulat seperti guling dan mudah diraut serta kokoh. Dahulu kala jenis batang pohon Betawi banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata keris atau gagang pisau. Tanaman guling Betawi banyak tumbuh di Nusa Kelapa dan beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. Sementara di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, guling Betawi disebut Kayu Bekawi. Ada perbedaan pengucapan kata "Betawi" dan "Bekawi" pada penggunaan kosakata "k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, dan ini biasa terjadi dalam bahasa Melayu, seperti kata tanya apakah atau apatah yang memiliki persamaan makna atau arti.
Kemungkinan nama Betawi yang berasal dari jenis tanaman pepohonan ada kemungkinan benar. Menurut Sejarahwan Ridwan Saidi Pasalnya, beberapa nama jenis flora selama ini memang digunakan pada pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta, seperti Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dan banyak lagi. "Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar, melainkan diambil dari jenis rerumputan"[3]
Sehinga Kata "Betawi" bukanlah berasal dari kata "Batavia" (Nama lama KotaJakarta pada masa Hindia Belanda). Dikarenakan nama Batavia lebih merujuk kepada wilayah asal nenek moyang orang Belanda
“Batavia is the Latin name for the land of the Batavians during Roman times. This was roughly the area around the city of Nijmegen, Netherlands, within the Roman Empire. The remainder of this land is nowadays known as Betuwe. During the Renaissance, Dutch historians tried to promote these Batavians to the status of "forefathers" of the Dutch people. They started to call themselves Batavians, later resulting in the Batavian Republic, and took the name "Batavia" to their colonies such as the Dutch East Indies, where they renamed the city of Jayakarta to become Batavia from 1619 until about 1942, when its name was changed to Djakarta (this is the short for the former name Jayakarta, later respelt Jakarta; see: History of Jakarta). The name was also used in Suriname, where they founded Batavia, Suriname, and in the United States where they founded the city and the town of Batavia, New York. This name spread further west in the United States to such places as Batavia, Illinois, near Chicago, and Batavia, Ohio.”.
[4]
Batavia merupakan nama Latin untuk tanah Batavia pada zaman Romawi. Perkiraan kasarnya berada sekitar kota Nijmegen, Belanda, dalam Kekaisaran Romawi. Sisa lahan ini kini dikenal sebagai Betuwe. Selama Renaisans, sejarawan Belanda mencoba untuk mempromosikan Batavia menjadi sebuah status "nenek moyang" dari orang-orang Belanda. Kemudian mereka mulai menyebut diri Orang-orang atau penduduk Batavia, kemudian hal tersebut mengakibatkan munculnya Republik Batavia, dan mengambil nama "Batavia" untuk koloni mereka seperti Hindia Belanda, dimana mereka mengganti nama menjadi dari Kota Jayakarta menjadi Batavia dari 1619 sampai sekitar 1942, ketika namanya diubah menjadi Djakarta (ini adalah kependekan dari nama mantan Jayakarta, kemudian dirubah kembali ejaannya menjadi Jakarta). Nama itu (Batavia) juga digunakan di Suriname, di mana mereka mendirikan Batavia, Suriname, dan di Amerika Serikat di mana mereka mendirikan kota dan kota Batavia, New York. Nama ini menyebar lebih jauh ke barat di Amerika Serikat untuk tempat-tempat seperti Batavia, Illinois, dekat Chicago, dan Batavia, Ohio.
Kemudian penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku yang pada masa hindia belanda, diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama Perkoempoelan Kaoem Betawi yang lahir pada tahun 1923.[5]

Sejarah

Berikut merupakan pemaparan para ahli tentang sejarah betawi.

Periode Sebelum Masehi

Sejarah Betawi diawali pada masa zaman batu yang menurut Sejarawan Sagiman MD sudah ada sejak zaman neolitikum. Sementara Yahya Andi Saputra (Alumni Fakultas Sejarah UI), berpendapat bahwa penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa. Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa Jawa merupakan satu kesatuan budaya. Bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan mereka sama. Dia menyebutkan berbagai sebab yang kemudian menjadikan mereka sebagai suku bangsa sendiri-sendiri.
  • Pertama, munculnya kerajaan-kerajaan di zaman sejarah.
  • Kedua, kedatangan penduduk dari luar Nusa Jawa.
  • Terakhir, perkembangan kemajuan ekonomi daerah masing-masing.
Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno). Di antara penduduk juga mengenal huruf hanakacara (abjad bahasa Jawa dan Sunda). Jadi, penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu. [6]

Periode Setelah Masehi

Periode Awal

Abad ke-2
Pada abad ke-2, Menurtut Yahya Andi Saputra Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perda gangan dengan Cina telah maju. Bahkan, pada tahun 432 Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke Cina.
Abad ke-5
Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum. Menurut Yahya, ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibukota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibukota kerajaan di tepi sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi. Candra berarti bulan atau sasi, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara yang termashur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap. Pada zaman Tarumagara kesenian mulai berkembang. Petani Betawi membuat orang -orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini ma sih dapat kita saksikan di sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil mengge rak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu. Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Pendu duk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan merdeka punya kagoembiraan. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan. Nelayan juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.
Abad ke-7
Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera. Mereka mendirikan pemukiman di pesi sir Jakarta. Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja. Kemudian meluas sehingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gu nung Gede. Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga. Dalam keluarga Betawi ayah disebut babe. Tetapi ada juga yang menyebutnya baba, mba, abi atau abah — pengaruh para pendatang dari Hadra maut. Ibu disebut mak. Tetapi tidak kurang banyaknya yang menyebut nyak atau umih. Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak bontot.
Abad ke-10
Pada sekitar abad ke-10. Saat terjadi persaingan antara wong Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan wong Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Cina ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah Barat mulai dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.
Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya – karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukin awal – bahasa Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa. Sejarahwan Ridwan Saidi mencontohkan, orang “pulo”, yaitu orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu), bukan “musim kulon” (bahasa Sunda), orang-orang di desa pinggiran Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.

Periode Kolonialisasi Eropa

Abad ke-16
Perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Pajajaran) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik Keroncong atau dikenal sebagai Keroncong Tugu.
Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan.[7] Itulah penyebab masih tersisanya kosa kata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia, Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
Abad ke-20
Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, Lance Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal-usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad 19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.
Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari :
  1. Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
  2. Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
  3. Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
  4. Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad 19 hingga awal abad 20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan walaupun hasil kajian yang dilakukan Lance Castles mendapatkan banyak kritikan karena hanya menitikberatkan kepada skesta sejarah yang baru ditulis tahun 1673.
Mengikuti kajian Lance Castles antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Bali, Jawa, Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.
Sepuluh tahun setelah pengumuman hasil penelitian Lance Castles yakni pada tahun 1977 arkeolog Uka Tjandarasasmita mengemukakan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)". Uka memang tidak menyebut monografinya untuk menangkis tesis Castles, tetapi secara arkeologis telah memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah tentang sejarah penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara di abad 5.
Dikemukakan bahwa paling tidak sejak zaman neolitikhum atau batu baru (3500 – 3000 tahun yang lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya dimana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat manusia. Beberapa tempat yang diyakini itu berpenghuni manusia itu antara lain Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta.
Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur. [8]

Suku Betawi

Pada zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Namun menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum masehi.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Setelah kemerdekaan

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah salah satu caranya ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.

Seni dan kebudayaan

Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo . Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan "Kalapa" (Sekarang Jakarta) merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa dimana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal dan dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.
Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.

Bahasa

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar "Kalapa" (sekarang Jakarta) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan bahasa Melayu, bahkan ada juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga ikut menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatera dan Kalimantan Barat, penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya - Kediri yang dimediasi oleh China yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda diwilayah lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[9] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.

Musik

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".

Tari

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.

Drama

Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.

Cerita rakyat

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.

Senjata tradisional

Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.

Kepercayaan

Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.

Profesi

Di Jakarta, orang Betawi sekarang sebagai hasil asimilasi antar suku bangsa, sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu program Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena salah satu asal-muasal berkembangnya suku Betawi adalah dari asimilasi (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.

Perilaku dan sifat

Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta (2007 - 2012) .
Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.

Tokoh Betawi

Benyamin Sueb, seniman Betawi legendaris.

Catatan kaki

  1. ^ "Penduduk Asli Betawi": [1]
  2. ^ Dari Gagang Keris Menjadi Betawi : [2]
  3. ^ "Dari Gagang Keris Menjadi Betawi" : [3]
  4. ^ Batavia Region : [4]
  5. ^ Profil Kesenian Tanjidor di situs web LanggamBudaya.ui.ac.id.
  6. ^ "Penduduk Asli Betawi" : [5]
  7. ^ Ensiklopedi Jakarta: Cornelis Chastelein
  8. ^ "Siapa dan Darimanakah Orang Betawi" : [6]
  9. ^ Three Old Sundanese Poems. KITLV Press. 4 Maret 2007.

Referensi

  1. Castles, Lance The Ethnic Profile of Jakarta, Indonesia vol.I, Ithaca: Cornell University April 1967
  2. Guinness, Patrick The attitudes and values of Betawi Fringe Dwellers in Djakarta, Berita Antropologi 8 (September), 1972, pp. 78–159
  3. Knoerr, Jacqueline Im Spannungsfeld von Traditionalität und Modernität: Die Orang Betawi und Betawi-ness in Jakarta, Zeitschrift für Ethnologie 128 (2), 2002, pp. 203–221
  4. Knoerr, Jacqueline Kreolität und postkoloniale Gesellschaft. Integration und Differenzierung in Jakarta, Frankfurt & New York: Campus Verlag, 2007
  5. Saidi, Ridwan. Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya
  6. Shahab, Yasmine (ed.), Betawi dalam Perspektif Kontemporer: Perkembangan, Potensi, dan Tantangannya, Jakarta: LKB, 1997
  7. Wijaya, Hussein (ed.), Seni Budaya Betawi. Pralokarya Penggalian Dan Pengem¬bangannya, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1976

sumber :  http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Betawi
ALAT MUSIK ANGKLUNG
 
Sejak Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus, yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian lokal atau tradisional. Namun karena bunyi-bunyian yang ditimbulkannya sangat merdu dan juga memiliki kandungan lokal dan internasional seperti bunyi yang bertangga nada duremi fa so la si du dan daminatilada, maka angklung pun cepat berkembang, tidak saja dipertunjukan lokal tapi juga dipertunjukan regional, nasional dan internasional. Bahkan konon khabarnya pertunjukan angklung pernah digelar dihadapan Para pemimpin Negara pada Konferensi Asia Afika di Gedung Merdeka Bandung tahun 1955.

Jumlah pemain angklung bisa dimainkan oleh sampai 50 orang, bahkan sampai 100 orang dan dapat dipadukan dengan alat musik lainnya seperti; piano, organ, gitar, drum, dan lain-lain. Selain sebagai alat kesenian, angklung juga bisa digunakan sebagai suvenir atau buah tangan setelah dihiasi berbagai asesoris lainnya.

Sepeninggal Daeng Sutigna kreasi kesenian angklung diteruskan oleh Mang Ujo dan Erwin Anwar. Bahkan Mang Ujo telah membuat pusat pembuatan dan pengembangan kreasi kesenian angklung yang disebut ‘Saung angklung Mang Ujo” yang berlokasi di Padasuka Cicaheum Bandung. Salah satu program yang ia lakukan khususnya untuk mempertahankan kesenian angklung adalah memperkenalkan angklung kepada para siswa sekolah, mulai TK, sampai dengan tingkat SLTA dan bahkan telah menjadi salah satu kurikulum pada pada mata pelajaran lokal. (jabar.go.id)

sumber : http://www.puncakview.com/Angklung.htm

Gamelan Jawa Tengah dan Yogyakarta

Seperangkat Gmelan
Seperangkat Gamelan
Gamelan Orkestra adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada instrumennya / alatnya, yang mana merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran an yang menjadikannya kata benda. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan. (Doc. Source : http://sbragnar.com/images/Indonesia/DSC01578.jpg)
Kemunculan gamelan didahului dengan budaya Hindu-Budha yang mendominasi Indonesia pada awal masa pencatatan sejarah, yang juga mewakili seni asli indonesia. Instrumennya dikembangkan hingga bentuknya sampai seperti sekarang ini pada zaman Kerajaan Majapahit. Dalam perbedaannya dengan musik India, satu-satunya dampak ke-India-an dalam musik gamelan adalah bagaimana cara menyanikannya. Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.[rujukan?]
Gambaran tentang alat musik ensembel pertama ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah, yang telah berdiri sejak abad ke-8. Alat musik semisal suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Namun, sedikit ditemukan elemen alat musik logamnya. Bagaimanapun, relief tentang alat musik tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan.
Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro, pélog, “Degung” (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan “madenda” (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa).
Musik Gamelan merupakan gabungan pengaruh seni luar negeri yang beraneka ragam. Kaitan not nada dari Cina, instrumen musik dari Asia Tenggara, drum band dan gerakkan musik dari India, bowed string dari daerah Timur Tengah, bahkan style militer Eropa yang kita dengar pada musik tradisional Jawa dan Bali sekarang ini.
Interaksi komponen yang sarat dengan melodi, irama dan warna suara mempertahankan kejayaan musik orkes gamelan Bali. Pilar-pilar musik ini menyatukan berbagai karakter komunitas pedesaan Bali yang menjadi tatanan musik khas yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Untuk daerah Sekitar Jawa Tengah dan Yogyakarta umumnya gamelan terdiri dari 2 pangkon (jenis) yakni Slendro dan Pelog yang mempunyai titi nada yang berbeda. Slendro pada dasarnya adalah nada mendekati minor sedangkan Pelog menghasilkan nada yang cenderung mendekati nada diatonis. Berikut ini Seperangkat gamelan Jawa yang umumnya dibunyikan di Jawa Tengah umumnya, diantaranya :
1. Kendang
Kendang merupakan alat musik ritmis (tak bernada) yang berfungsi mengatur irama dan termasuk dalam kelompok “membranofon” yaitu alat musik yang sumber bunyinya berasal dari selaput kulit atau bahan lainnya.
Kendang kebanyakan dimainkan oleh para pemain gamelan profesional, yang sudah lama menyelami budaya Jawa. Kendang kebanyakan di mainkan sesuai naluri pengendang, sehingga bila dimainkan oleh satu orang denga orang lain maka akan berbeda nuansanya.
Menurut bukti sejarah, kelompok  membranofon telah populer di Jawa sejak pertengahan abad ke-9 Masehi dengan nama: padahi, pataha (padaha), murawa atau muraba, mrdangga, mrdala, muraja, panawa, kahala, damaru, kendang. Istilah ‘padahi’ tertua dapat dijumpai pada prasasti Kuburan Candi yang berangka tahun 821 Masehi (Goris, 1930). Seperti yang tertulis pada kitab Nagarakrtagama gubahan Mpu Prapanca tahun 1365 Masehi (Pigeaud, 1960), istilah tersebut terus digunakan sampai dengan jaman Majapahit.
Penyebutan kendang  dengan berbagai nama menunjukkan adanya berbagai macam bentuk, ukuran serta bahan yang digunakan, antara lain : kendang berukuran kecil, yang pada arca dilukiskan sedang  dipegang oleh dewa , kendang ini disebut “damaru“.
Kendang
Kendang
Doc. Source :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhl9P4inA1K5yZqSWS0CFUm3voxs24mE7mlbXANdqx-jdLMg5Vx2nIpF9Y5i7l5Pf6byTdhqX2HrdSeTztynPb6ONdii-sR_nKc7LMwBdUis9LH-JsOEbDBxfKUarRg66guD0_Hzb-71fQ/s1600/Traditional_indonesian_drums.jpg
2. Rebab
Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15—16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Menyebar di daerah Jawa barat, Jawa Tengah & Jawa Timur. Rebab terbuat dari bahan kayu dan resonatornya ditutup dengan kulit tipis, mempunyai dua buah senar/dawai dan mempunyai tangga nada pentatonis. Alat musik yang menggunakan penggesek dan mempunyai tiga atau dua utas tali dari dawai logam (tembaga) ini badannya menggunakan kayu nangka (umumnya)dan berongga di bagian dalam ditutup dengan kulit lembu yang dikeringkan sebagai pengeras suara.
Instrumen musik tradisional lainnya yang mempunyai bentuk seperti rebab adalah Tehyan yang resonatornya terbuat dari tempurung kelapa, rebab jenis ini dapat dijumpai di DKI Jakarta, Jawa dan Kalimantan Selatan
Untuk daerah Jawa Tengan dan Yogyakarta, lazimnya Instrumen ini terdiri dari kawat-gesek dengan dua kawat ditegangkan pada selajur kayu dengan badan berbentuk hati ditutup dengan membran (kulit tipis) dari babad sapi.
Sebagai salah satu dari instrumen pemuka, rebab diakui sebagai pemimpin lagu dalam ansambel, terutama dalam gaya tabuhan lirih. Pada kebanyakan gendhing-gendhing, rebab memainkan lagu pembuka gendhing, menentukan gendhing, laras, dan pathet yang akan dimainkan.
Wilayah nada rebab mencakup luas wilayah gendhing apa saja. Maka alur lagu rebab memberi petunjuk yang jelas jalan alur lagu gendhing. Pada kebanyakan gendhing, rebab juga memberi tuntunan musikal kepada ansambel untuk beralih dari seksi yang satu ke yang lain.
Rebab
Rebab
3. Balungan
Yaitu alat musik berbentuk Wilahan (Jawa : bilahan) dengan enam atau tujuh wilah (satu oktaf ) ditumpangkan pada bingkai kayu yang juga berfungsi sebagai resonator yang ditabuh dengan menggunakan tabuh dari kayu.
Dalam memainkan Balungan ini, tangan kanan memukul wilahan / lembaran logam dengan tabuh, lalu tangan kiri memencet wilahan yang dipukul sebelumnya untuk menghilangkan dengungan yang tersisa dari pemukulan nada sebelumnya. Teknik ini disebut memathet (kata dasar: pathet = pencet)
Menurut ukuran dan fungsinya, terdapat tiga jenis Balungan :
a. Demung, Alat ini berukuran besar dan beroktaf tengah. Demung memainkan balungan gendhing dalam wilayahnya yang terbatas. Lazimnya, satu perangkat gamelan mempunyai satu atau dua demung. Tetapi ada gamelan di kraton yang mempunyai lebih dari dua demung.
Demung
Demung
 
b. Saron, Alat ini berukuran sedang dan beroktaf tinggi. Seperti demung,  Saron memainkan balungan dalam wilayahnya yang terbatas. Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, dua saron memainkan lagu jalin menjalin yang bertempo cepat. Seperangkat gamelan mempunyai dua Saron, tetapi ada gamelan yang mempunyai lebih dari dua saron.
Saron
Saron
 
c. Peking, Berbentuk saron yang paling kecil dan beroktaf paling tinggi. Saron panerus atau peking ini memainkan tabuhan rangkap dua atau rangkap empat lagu balungan.
Peking
Peking
Doc. Source :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj6FsaBczSkPYOe0-HWl8nVwqgAnRxx6tRtP0VKSr7qbeSBCt12CdQVDylgm0Q5RtP48KcolJodDKQuAsquA6Z_GzvwWsGfzS1VjsiHUFJXr5kLYuDY9uItarlme41_m24QPtli4OFIbUE/s1600/9910SaronpanerusportraitLG.jpg
d. Slenthem, Menurut konstruksinya, slenthem termasuk keluarga gender; malahan kadang-kadang ia dinamakan gender panembung. Tetapi slenthem mempunyai bilah sebanyak bilah saron;
Ia beroktaf paling rendah dalam kelompok instrumen saron (balungan). Seperti demung dan saron barung, slenthem memainkan lagu balungan dalam wilayahnya yang terbatas.
Slenthem merupakan salah satu instrumen gamelan yang terdiri dari lembaran lebar logam tipis yang diuntai dengan tali dan direntangkan di atas tabung-tabung dan menghasilkan dengungan rendah atau gema yang mengikuti nada saron, ricik, dan balungan bila ditabuh. Seperti halnya pada instrumen lain dalam satu set gamelan, slenthem tentunya memiliki versi slendro dan versi pelog. Wilahan Slenthem Pelog umumnya memiliki rentang nada C hingga B, sedangkan slenthem slendro memiliki rentang nada C, D, E, G, A, C’. Cara memainkan :
Cara menabuh slenthem sama seperti menabuh balungan, ricik, ataupun saron. Tangan kanan mengayunkan pemukulnya dan tangan kiri melakukan “patet”, yaitu menahan getaran yang terjadi pada lembaran logam. Dalam menabuh slenthem lebih dibutuhkan naluri atau perasaan si penabuh untuk menghasilkan gema ataupun bentuk dengungan yang baik. Pada notasi C, D, E, G misalnya, gema yang dihasilkan saat menabuh nada C harus hilang tepat saat nada D ditabuh, dan begitu seterusnya.
Untuk tempo penabuhan, cara yang digunakan sama seperti halnya bila menggunakan balungan, ricik, dan saron. Namun untuk keadaan tertentu misalnya demung imbal, maka slenthem dimainkan untuk mengisi kekosongan antara nada balungan yang ditabuh lambat dengan menabuh dua kali lipat ketukan balungan. Atau bisa juga pada kondisi slenthem harus menabuh setengah kali ada balungan karena balungan sedang ditabuh cepat, misalnya ketika gendhing Gangsaran.
Slenthem
Slenthem
Doc. Source :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpbYM1eiPkUltQ210t-xww7DXOQ_EYN3-iTAokzGiqNI3QzJ_a0xXvKFyQoC-y4bt4heDEEnO0Oj12lgSBeHdhaNrIhLm7GhkwvA6FNRHuF7YB2SrCJW6_en1_mxFPGV6EXHq2OtBVjoc/s1600/9858gamelanslenthemportraitwithmalletLG.jpg
4. Bonang
Alat musik ini terdiri dari satu set sepuluh sampai empat-belas gong- gong kecil berposisi horisontal yang disusun dalam dua deretan, diletakkan di atas tali yang direntangkan pada bingkai kayu. Pemain duduk di tengah-tengah pada sisi deretan gong beroktaf rendah, memegang tabuh berbentuk bulat panjang di setiap tangan.
Ada tiga macam bonang, dibeda-bedakan menurut ukuran, wilayah oktaf, dan fungsinya dalam ansambel. Untuk gamelan Jawa, bonang disini ada 2 jenis yakni Bonang Barung dan Bonang Penerus/ Penembung
Bonang
Bonang
Doc. Source :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgH9MyQb6ReKdCSpYk6SJ60Mj5xbHqTLAT4WQjfHmYIND7XrBCy0r6eExU4d6MZb6sHOi78Q28UySTmwYyt9dZVfX5xxL1b4KZuHoUa2VFdEx8cnqwnF4Zp4K0KFwf2ZkmvLYhm5ZYnyaY/s1600/Bonang_barung_and_panerus._STSI_Surakarta.jpg
Dalam gamelan Jawa Tengah ada tiga jenis bonang yang digunakan:
a. Bonang Panerus
adalah yang tertinggi dari mereka, dan menggunakan ketel terkecil. Pada umumnya mencakup dua oktaf (kadang-kadang lebih dalam slendro di Solo instrumen-gaya), seluas sekitar kisaran yang sama dengan saron dan peking gabungan. Ia memainkan irama tercepat bonang itu, saling layu dengan atau bermain di dua kali kecepatan dari bonang barung.
b. Bonang Barung
yang bernada satu oktaf di bawah bonang panerus, dan juga secara umum mencakup dua oktaf, kira-kira kelas yang sama dengan demung dan saron gabungan. Ini adalah salah satu instrumen yang paling penting dalam ansambel tersebut, karena banyak memberikan isyarat untuk pemain lain dalam gamelan.
c. Bonang Panembung
adalah nada terendah. Hal ini lebih umum di Yogyakarta gamelan gaya, seluas sekitar kisaran yang sama dengan slenthem dan demung gabungan. Ketika hadir dalam gaya gamelan Solo, mungkin hanya memiliki satu baris dari enam (slendro) atau tujuh ceret terdengar dalam daftar yang sama dengan slenthem. Hal ini dicadangkan untuk repertoire yang paling keras, biasanya memainkan bentuk lain dari balungan .
Bagian yang dimainkan oleh bonang barung dan bonang panerus lebih kompleks dibandingkan dengan banyak instrumen gamelan, sehingga, secara umum dianggap sebagai instrumen mengelaborasi . Kadang-kadang memainkan melodi berdasarkan balungan , meskipun umumnya diubah dengan cara yang sederhana. Namun, juga bisa memainkan pola yang lebih kompleks, yang diperoleh dengan menggabungkan dan panerus patters barung, seperti saling silih bergantinya bagian ( imbal ) dan interpolasi pola melodi jerau ( Sekaran ).
5. Kenong
Kenong merupakan unsur instrumen pencon gamelan yang paling gemuk, dibandingkan dengan kempul dan gong yang walaupun besar namun berbentuk pipih. Kenong ini disusun pada pangkon berupa kayu keras yang dialasi dengan tali, sehingga pada saat dipukul kenong tidak akan bergoyang ke samping namun dapat bergoyang ke atas bawah, sehingga menghasilkan suara. Bentuk kenong yang besar menghasilkan suara yang rendah namun nyaring dengan timber yang khas (dalam telinga masyarakat Jawa ditangkap berbunyi ning-nong, sehingga dinamakan kenong). Dalam gamelan, suara kenong mengisi sela-sela antara kempul.
Gamelan ini merupakan instrumen kedua yang paling penting setelah gong. Kenong membagi gongan menjadi dua atau empat kalimat kalimat kenong, atau kenongan.
Di samping berfungsi menggaris-bawahi struktur gendhing, nada-nada kenong juga berhubungan dengan lagu gendhing;ia bisa memainkan nada yang sama dengan nada balungan;dan boleh juga mendahului nada balungan berikutnya untuk menuntun alun lagu gendhing; atau ia dapat memainkan nada berjarak satu kempyung dengan nada balungan, untuk mendukung rasa pathet.
Pada kenongan bergaya cepat, dalam ayaka yakan, srepegan, dan sampak, tabuhan kenong menuntun alur lagu gendhing-gendhing tersebut.
Kenong
Kenong
6. Kethuk
Dua instrumen jenis gong sebesar kenong, berposisi horisontal ditumpangkan pada tali yang ditegangkan pada bingkai kayu yang berfungsi memberi aksen-aksen alur lagu gendhing menjadi kalimat kalimat yang pendek.
Pada gaya tabuhan cepat lancaran, sampak, srepegan, dan ayak ayakan, kethuk ditabuh di antara ketukan ketukan balungan, menghasilkan pola-pola jalin-menjalin yang cepat.
Kethuk - Kempyang
Kethuk – Kempyang
Doc. Source :
http://nonobudparpora.files.wordpress.com/2011/04/9-kethuk-kempyang-1.jpg
7. Gambang
Merupakan Instrumen mirip keluarga balungan yang dibuat dari bilah – bilah kayu dibingkai pada gerobogan yang juga berfungsi sebagai resonator.
Berbilah tujuh-belas sampai dua-puluh bilah, wilayah gambang mencakup dua oktaf atau lebih.
Gambang dimainkan dengan tabuh berbentuk bundar dengan tangkai panjang biasanya dari tanduk/sungu/ batang fiber lentur. Pada seperangkat instrumen gamelan yang lengkap terdapat 3 buah gambang, yakni gambang slendro, gambang pelog bem, dan gambang pelog barang. Namun tidak sedikit yang terdiri hanya dua buah instrumen saja. Pada gambang pelog, nada 1 dan 7 dapat disesuaikan dengan gendhing yang akan dimainkan.
Kebanyakan gambang memainkan gembyangan (oktaf) dalam gaya pola pola lagu dengan ketukan ajeg.
Gambang juga dapat memainkan beberapa macam ornamentasi lagu dan ritme, seperti permainan dua nada dipisahkan oleh dua bilah, atau permainan dua nada dipisahkan oleh enam bilah, dan pola lagu dengan ritme – ritme sinkopasi seperti pada gendhing Janturan/ Suluk.
Gambang
Gambang
Doc. Source :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5K1fH8Xyjt1xwqLXbfyzENt8ZnVy6wllnzIEwnKvPZ7d9dfr_FsYO7Eg7ofEup3_-QdMARa1T9mnXW_W-pKLVF-C52B2AQLGwfu45-Nq4ioVpkst-TqUzYhZlaSE4j7qEYiyJGax-7WFd/s1600/GambangKayu_Xylophone.jpg
8. Gender
Sama dengan Kendang, Gender ini kebanyakan dimainkan oleh para pemain gamelan profesional, yang sudah lama menyelami budaya Jawa.
Instrumen mirip Slenthem namun dengan wilahan lebih kecil, terdiri dari bilah-bilah metal (Perunggu, Kuningan atau Besi) ditegangkan dengan tali di atas bumbung-bumbung resonator.
Gender ini dimainkan dengan 2 tabuh berbentuk bulat (dilingkari lapisan kain) dengan tangkai pendek.
Sama halnya dengan Gambang Pada seperangkat instrumen gamelan yang lengkap terdapat 3 buah Gender, yakni Gender slendro, Gender pelog bem, dan Gender pelog barang.
Sesuai dengan fungsi lagu, wilayah nada, dan ukurannya, ada dua macam gender:
a. Gender Barung
Gender berukuran besar, beroktaf rendah sampai tengah. Salah satu dari instrumen pemuka, gender barung memainkan pola-pola lagu berketukan ajeg (cengkok) yang dapat menciptakan tekstur sonoritas yang tebal dan menguatkan rasa pathet gendhing.
Beberapa gendhing mempunyai pembuka yang dimainkan gender barung; gendhing-gendhing ini dinamakan gendhing gender.
Dalam pertunjukan wayang, pemain gender mempunyai peran utama harus memainkan instrumennya hampir tidak pemah berhenti selama semalam suntuk dalam permainan gendhing, sulukan, dan grimingan.
Gender Barung
Gender Barung
Doc. Source :
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/8/82/Traditional_indonesian_instruments03.jpg
b. Gender Panerus
Gender berukuran lebih kecil, beroktaf tengah sampai tinggi. Meskipun instrumen mi tidak harus ada dalam ansambel, kehadirannya menambah kekayaan tekstur gamelan lebih kepyek. Gender ini memainkan lagunya dalam pola lagu ketukan ajeg dan cepat.
Gender Penerus
Gender Penerus
Rumus untuk menabuh gender ini terdiri kurang lebih 12 cara, yaitu :
1) Tabuhan gendèr gembyang mbukak
2) Tabuhan gendèr gembyang nutup
3) Tabuhan gendèr gembyang minggah
4) Tabuhan gendèr gembyang mandha
5) Tabuhan gendèr kempyung mbukak
6) Tabuhan gendèr kempyung nutup
7) Tabuhan gendèr kempyung minggah
8.) Tabuhan gendèr kempyung mandhap
9) Tabuhan gendèr gantungan gembyang
10) Tabuhan gendèr gantungan kempyung
11) Tabuhan gendèr mipil
12) Tabuhan gendèr imbal (untuk lancaran, srepeg, palaran)
Untuk rumus lebih jelas silahkan klik tautan berikut :
http://wayangprabu.com/2011/03/17/duabelas-jurus-rumus-tabuhan-gender-barung/ atau
http://wayangprabu.com/2010/12/28/rahasia-nabuh-gender-barung/
9. Siter
Siter merupakan instrumen yang dimainkan dengan dipetik, terbuat dari kayu berbentuk kotak berongga yang berdawai. Pada umumnya site mempunyai dua belas nada, yaitu dari kiri ke kanan: 2, 3,5,6,1,2,3,5,6,1,2,3. (contoh untuk siter slendro).
Ciri khasnya satu senar disetel nada pelog dan senar lainnya dengan nada slendro. Umumnya sitar memiliki panjang sekitar 30 cm dan dimasukkan dalam sebuah kotak ketika dimainkan. Siter dimainkan sebagai salah satu dari alat musik yang dimainkan bersama (panerusan), sebagai instrumen yang memainkan cengkok (pola melodik berdasarkan balungan). Siter dimainkan dengan kecepatan yang sama dengan gambang (temponya cepat).
Cara memainkannya dengan ibu jari, sedangkan jari lain digunakan untuk menahan getaran ketika senar lain dipetik, ini biasanya merupakan ciri khas instrumen gamelan. Jari kedua tangan digunakan untuk menahan, dengan jari tangan kanan berada di bawah senar sedangkan jari tangan kiri berada di atas senar.
Siter dengan berbagai ukuran adalah instrumen khas Gamelan Siteran, meskipun juga dipakai dalam berbagai jenis gamelan lain.
Siter
Siter
Doc. Source :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgH6QBoV2UVuQoo72xQR2TWhMUpFr2o9Wjcug1VAZIKO1IDz1vQwWwqfha02WL9UkKpMHv9xoo8da7-7dfbQuRfNFLeaIyqQf5a6DQhyphenhyphenXEikx6gOovmeZvEMYfL61zNVhmDMAWXSQPcc1mf/s1600/9880gamelansiterwithboxportraitLG.jpg
10. Kempul
Kempul merupakan salah satu perangkat gamelan yang ditabuh, biasanya digantung menjadi satu perangkat dengan Gong (mirip dengan Gong tapi lebih kecil) dengan jumlah tergantung dengan jenis pagelarannya, sehingga tidak pasti. Kempul menghasilkan suara yang lebih tinggi daripada Gong, sedangkan yang lebih kecil akan menghasilkan suara yang lebih tinggi lagi.
Dalam hubungannya dengan lagu gendhing, kempul bisa memainkan nada yang sama dengan nada balungan; kadang-kadang kempul mendahului nada balungan berikutnya; kadang-kadang ia memainkan nada yang membentuk interval kempyung dengan nada balungan, untuk menegaskan rasa pathet.
Kempul
Kempul
11. Suling
Suling bambu yang memainkan lagu dalam pola-pola lagu bergaya bebas metris. Alat ini dimainkan secara bergantian, biasanya pada waktu lagunya mendekati akhiran kalimat atau kadang – kadang dimainkan pada lagu-lagu pendek di permulaan atau di tengah kalimat lagu.
Suling
Suling
Doc. Source :
http://orgs.usd.edu/nmm/Gamelan/9894/9894&9895gamelansulingsfrontLG.jpg
12. Gong
Sebuah kata benda yang merujuk bunyi asal benda, kata gong khususnya menunjuk pada gong yang digantung berposisi vertikal, berukuran besar atau sedang, ditabuh di tengah-tengah bundarannya (pencu) dengan tabuh bundar berlapis kain.
Gong menandai permulaan dan akhiran gendhing dan memberi rasa keseimbangan setelah berlalunya kalimat lagu gendhing yang panjang.
Seperangkat Gong (termasuk Kempul)
Seperangkat Gong (termasuk Kempul)
Doc, Source :
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/7e/Traditional_indonesian_instruments04.jpg
Gong sangat penting untuk menandai berakhirnya satuan kelompok dasar lagu, sehingga kelompok itu sendiri (yaitu kalimat lagu di antara dua tabuhan gong) dinamakan gongan. Ada dua macam gong :
a. Gong Ageng
Gong gantung besar, ditabuh untuk menandai permulaan dan akhiran kelompok dasar lagu (gongan) gendhing.
    b. Gong Suwukan
Gong gantung berukuran sedang, ditabuh untuk menandai akhiran gendhing yang berstruktur pendek, seperti lancaran, srepegan, dan sampak.
13. Keprak
Keprak adalah suatu alat berbentuk lembaran yang terbuat dari perunggu atau besi dengan ukuran kira-kira 20 x 27 cm, terdiri beberapa lempengan, diberi lobang pada bagian atasnya dan diberi seutas tali, digantung pada kotak wayang dengan tatanan sedemikian rupa sehingga bila di pukul akan menimbulkan efek bunyi “prak-prak”.
Dalam gelaran wayang kulit gagrak Surakarta, keprak terdiri minimal 3 buah, ada yang 4 buah dan 5 buah. Sedangkan untuk pakeliran Gaya Yogyakarta keprak hanya terdiri dari satu lempengan besi saja yang di landasi dengan kayu seukuran keprak, dipukul dengan cempala besi yang di jepit oleh kaki seorang dalang sehingga menghasilkan efek bunyi “ting-ting”.
Agar menghasilkan suara keprak yang bagus seorang dalang harus tahu teknik memasang keprak dan teknik membunyikan keprak dengan baik. Keprak dalam pakeliran biasanya untuk mengiringi gerakan wayang serta untuk memantabkan solah (gerak) wayang. Dalang wayang kulit gagrak Surakarta saat ini lebih memilih keprak berbahan besi putih beberapa lembar di kombinasi dengan keprak perunggu beberapa lembar, yang di yakini mempunyai efek suara lebih nyaring.
Keprak
Keprak
sumber :  http://goblokku.wordpress.com/2011/09/14/gamelan-jawa-tengah-dan-yogyakarta/